Dari balik terali besi, berhari-hari Juned menunggu kedatangan Cut Anissa, tetapi wajah sang istri tak muncul-muncul juga. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, Juned masih menunggunya, namun Anissa tak hadir-hadir juga. Juned rindu melihat wajah cantik-anggun yang dibungkus jilbab itu. Pikirannya menerawang, benarkah dia telah tiada?
''Bang
Juned, bertawakallah. Tak perlu menunggu istrimu yang telah pergi,''
kata Si Gam Cut, temannya, yang berseberangan sel. ''Gam Cut jangan
bilang begitu. Ucapanmu membuatku sengsara. Aku tak mau mendengarnya
lagi,'' balas Juned setengah marah. Melihat reaksi sahabatnya yang
begitu tajam, Gam Cut menarik diri. Dia tidak ingin memperkeruh
suasana.
Sejak
Anissa tak pernah muncul ke penjara, semangat hidup Juned meredup.
Rambutnya, kumisnya, dan jenggotnya dibiarkan tumbuh berantakan.
Hari-hari Juned berdiri termenung di balik pintu penjara, memandang
ke arah pintu masuk, mengharapkan sipir memanggilnya, sambil
mengatakan bahwa istrinya telah menanti di ruang tunggu.
''Bang, Bang Sipir, adakah seseorang mengunjungiku?'' tanyanya pada sipir penjara di kota Jantho itu.
''Tak ada, Bang. Maaf,'' jawabnya singkat dan tak ramah. Lurus langkahnya, tak melihat kiri kanan.
''Bang, Bang Sipir, adakah seseorang mengunjungiku?'' tanyanya pada sipir penjara di kota Jantho itu.
''Tak ada, Bang. Maaf,'' jawabnya singkat dan tak ramah. Lurus langkahnya, tak melihat kiri kanan.
Biasanya
Anissa datang seminggu dua kali, sesuai jadwal kunjungan yang telah
disepakati. Ketika datang menemui suaminya, dia tak pernah dengan
tangan kosong. Selalu ada makanan enak yang dibuatnya, dan
teman-teman Juned pun bisa ikut mencicipinya.
''Aku
rindu makanan yang dibuat Anissa,'' ucap Juned pada Gam Cut. Keduanya
sama-sama dipenjara, tetapi dengan kasus yang berbeda. Gam Cut lebih
terhormat karena dia tahanan politik, sementara Juned tahanan
kriminal, akibat korupsi. Karena keterbatasan tempat, mereka
dijadikan satu. Di waktu senggang, ketika lagi mengganggur, keduanya
saling mencurahkan isi hati. Namun, sepi hati itu tak terobati.
Telah
tiga bulan Anissa tak muncul. Juned sering cemburu melihat
teman-temanya yang lain dikunjungi keluarganya. Biasanya Anissa
selalu datang mengunjunginya, walaupun dia tinggal di Banda Aceh.
Karena penjara ini di luar kota, Anissa harus naik bus, labi-labi,
ataupun naik motor diantar oleh anak tetangganya. Namun, tak ada
keluhan dari bibirnya. Melihat pengorbanan istrinya, dan dosanya pada
Anissa, Juned sangat malu dan selalu minta maaf padanya.
''Allah
saja memaafkan, kenapa aku tidak, Bang,'' jawabnya singkat. Juned
menangis kalau Anissa menjawab demikian. Juned tak habis pikir kenapa
dia bisa khilaf, sampai hati menyakiti istrinya, yang telah
menemaninya dari masa susah. Keterlibatannya dengan perempuan lain
yang menghancurkan mereka. Seringkali Juned bermimpi diberikan
kesempatan hidup sekali lagi untuk beberapa saat bersama Anissa.
Obesesinya membuatnya sering mengigau siang-malam.
Gam
Cut yang ada di depannya sering menasehatinya, ''Bang Juned, sadarlah
diri. Kok seperti bukan orang beriman. Setiap makhluk di dunia ini
tak luput dari kematian. Hanya kita tidak pernah tahu di bumi mana
kita dikuburkan. Begitu juga istrimu dan istriku. Mereka sama-sama
telah menghadap Allah, walaupun dengan jalan yang berbeda. Istriku
tertembak peluru nyasar dan istrimu diambil tsunami. Kalau sudah tiba
waktunya, tak ada yang kuasa menolaknya.''
''Aku yakin dia masih hidup. Paling dia terbawa air dan terdampar di suatu tempat,'' ujar Juned getir.
''Semua orang di kampungmu sudah tahu apa yang terjadi pada istrimu. Cut Anissa telah meninggal. Tidak perlu lagi bermimpi. Lebih baik kita mempelajari Alquran untuk mengisi batin ini,'' Gam Cut kembali mengingatkan sahabatnya. Juned terdiam. Dia tetap berharap istrinya selamat. Tak sanggup mendengar kata-kata Gam Cut, Juned membuka buku coretannya. Di antara lembaran-lembaran lusuh, dia mengambil foto Anissa. Foto kenangan hari pernikahan mereka.
''Aku yakin dia masih hidup. Paling dia terbawa air dan terdampar di suatu tempat,'' ujar Juned getir.
''Semua orang di kampungmu sudah tahu apa yang terjadi pada istrimu. Cut Anissa telah meninggal. Tidak perlu lagi bermimpi. Lebih baik kita mempelajari Alquran untuk mengisi batin ini,'' Gam Cut kembali mengingatkan sahabatnya. Juned terdiam. Dia tetap berharap istrinya selamat. Tak sanggup mendengar kata-kata Gam Cut, Juned membuka buku coretannya. Di antara lembaran-lembaran lusuh, dia mengambil foto Anissa. Foto kenangan hari pernikahan mereka.
Suatu
yang mengejutkan terjadi. Juned dibebaskan lebih awal. Dia banyak
mendapat remisi, karena tingkah lakunya yang baik, mau bekerja sama
dan menyenangkan. Di satu sisi, teman-temannya ikut bahagia dengan
berita ini, tetapi di sisi lain, mereka merasa kehilangan. Juned
sendiri ragu untuk melangkah ke luar penjara. Kemanakah dia akan
pergi?
Tak
ada orang yang menjemputnya ketika dia bebas. Sungguh berat kakinya
melangkah. Begitu sampai di terminal, dia segera turun.
Langkah-langkahnya terus diayunkan, tanpa tahu harus ke mana. Kalau
dalam keadaan begini, Juned berpikir kenapa penjara Jantho tidak
dimakan tsunami saja. Bukankah dengan demikian urusannya di dunia
jadi selesai? Pikiran Juned bergumul. Adakah yang dulu bisa
membayangkan, seorang walikota yang memiliki kedudukan terhormat
seperti dirinya, akhirnya menjadi seorang yang papa?
Matanya
terus membasah. Di dalam usianya yang ke-53, dia harus menjalani
hidup sendiri. Mestinya dia hidup bahagia bersama Anissa dengan harta
yang tak berlebihan, walaupun tak punya anak. Tapi, amibisi yang
terlalu besar telah menghancurkan dirinya. Padahal ketika itu
bisnisnya sudah mapan, dan ia bahagia bersama Anissa. Bisnisnya
sebagai kontraktor berjalan lancar, karena banyak mendapat proyek
pembangunan jalan, jembatan, dan sekolah dari pemerintah daerah.
Hingga
suatu ketika, banyak orang mendorongnya terjun ke politik. Diapun
tergiur, dan mencalonkan diri sebagai walikota. Ternyata bermain
politik besar ongkosnya. Selain menguras hartanya, dia terlibat
utang. Juned memang suka tantangan, dan berani menerima risiko.
Diapun
memenangkan pertarungan. Namun pendukung-pendukungnya tidak mau
menunggu lama. Mereka menuntutnya untuk segera membayar utang itu.
Mereka juga menagih proyek-proyek besar. Itulah awal kehancurannya.
Karena uangnya terkuras habis, Juned mulai bermain dengan uang anak
negeri. Banyak mark
up
yang harus dilakukan supaya ada margin besar untuk dibagi-bagi.
Seperti biasa, ekonomi biaya tinggi tak dapat dihindarinya. Uang-uang
itu dipakai untuk membayar ongkos politiknya yang mahal.
Yang
paling fatal adalah dia terlibat kisah asmara dengan seorang artis
ibu kota. Dia terkesima dengan kecantikannya, badannya yang sexy dan
goyangnya yang aduhai. Awalnya perempuan itu direkrut untuk vote
getter-nya.
Ternyata berkelanjutan dalam ranah pribadi. Tangisan istri tak
digubrisnya. Nasehat dari para tetua tak pernah didengarnya. Kembali
uangnya dikuras, kini oleh cem-ceman-nya.
Hingga
kemudian korupsi yang dilakukanya mulai terungkap di media massa dan
berbuntut ke pengadilan. Untuk sementara jabatannya sebagai walikota
harus dilepaskan, diganti oleh wakilnya. Namun, karena kasusnya
berkepanjangan, dia harus meletakkan jabatannya. Sejak saat itu si
artis ibukota pun menghilang dengan mengeruk banyak uang.
''Cut Anissa sedang menunggu labi-labi ketika tsunami menjemputnya,'' kata saksi mata yang ditemui Juned, di Merduati.
''Cut Anissa sedang menunggu labi-labi ketika tsunami menjemputnya,'' kata saksi mata yang ditemui Juned, di Merduati.
Ketika
mayatnya ditemukan, Anissa masih memegang erat rantang berisi makanan
yang akan diantarkan untuk suaminya. Pada hari Minggu itu dia memang
berjanji mau membuatkan tumis
kemamah
permintaan suaminya. Cut Anissa, surga untukmu istriku, kata Juned
berdoa untuk istrinya di kuburan massal itu. Kesetiaan, dan
pengabdian kekasih hatinya itu sungguh luar biasa. Hanya perempuan
yang berimanlah yang bisa seperti dia. Sementara dirinya hanyalah
mantan narapidana.
''Hey,
Bang, kalau jalan jangan ngelamun,'' teriak seorang tukang becak.
Rupanya Juned telah berjalan agak ke tengah, dari jalan utama yang
cukup padat.
''Oh, oh, maaf,'' jawabnya tergagap, sambil meminggirkan dirinya. Tiba-tiba Juned merasa sangat kelelahan dan tak sanggup menapakkan kakinya. Ia jatuh tak sadarkan diri. Kemudian dia mendengar teriakan-teriakan di sekitarnya. Segala macam suara, begitu riuh rendah, dan dia tak tahu berada di mana.
Di kejauahan, Juned melihat lambaian tangan istrinya dengan baju dan kerudung berwarna putih. Cantiknya Anissa bak seorang bidadari. Dia seperti tersenyum menyambut kedatangannya. Junedpun ikut melayang mengikuti gerakan istrinya.
''Oh, oh, maaf,'' jawabnya tergagap, sambil meminggirkan dirinya. Tiba-tiba Juned merasa sangat kelelahan dan tak sanggup menapakkan kakinya. Ia jatuh tak sadarkan diri. Kemudian dia mendengar teriakan-teriakan di sekitarnya. Segala macam suara, begitu riuh rendah, dan dia tak tahu berada di mana.
Di kejauahan, Juned melihat lambaian tangan istrinya dengan baju dan kerudung berwarna putih. Cantiknya Anissa bak seorang bidadari. Dia seperti tersenyum menyambut kedatangannya. Junedpun ikut melayang mengikuti gerakan istrinya.
No comments:
Post a Comment